3:35 AM -
Cerpen
Tidak ada komentar
Cahaya Dari Bayang Cermin
"Walau bagaimanapun juga kamu sudah
cukup pantas untuk dikatakan teman terbaik. Kamu tidak pernah membalas
keburukan mereka dengan keburukan lagi, kamu tidak pernah membenci mereka
ketika mereka justru membencimu. Kamu sudah menjadi teman yang terbaik untuk
mereka. Ibu sangat bangga padamu. Bangga mempunyai seorang anak yang
berperangai baik."
"TAPI, BU, kenapa Elma tidak
dihargai? Kenapa mereka justru mencemooh Elma? KENAPA?" Elma semakin
terisak. Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Air mata semakin deras
membasahi pipi, tidak bisa dibendung lagi. Suara tangisannya pun semakin
histeris, tidak bisa ditutup-tutupi lagi.
Elma mencoba menenangkan diri kembali,
hendak melanjutkan pertanyaan yang sulit Elma mengerti. Napasnya
tersendat-sendat, tidak beraturan. Elma membuka kedua telapak tangan yang
menutup wajahnya, terkesiap untuk melanjutkan pembicaraan.
"Kenapa ketika aku ingin memperbaiki
diri dengan menutup diriku menggunakan hijab, mereka justru mencemoohku? Kenapa
justru ketika aku mulai menasihati, mereka justru mengabaikanku? Kenapa? Kenapa
semua usaha perbaikan diriku ini justru membuat aku kehilangan arti dari sebuah
persahabatan yang selama ini pernah aku ketahui dan mewarnai hidupku? KENAPA,
BU? Aku ingin kembali, tidak ingin merusak persahabatan ini."
Tangisannya sekarang tidak sehebat seperti
tangisannya semula. Kali ini Elma lemah, lemas tidak berdaya. Tangisannya sejak
tadi membuat tubuh Elma tidak bertenaga, cukup membuatnya lelah. Bahkan Elma
pun tidak kuasa mengangkat kedua tangannya untuk kembali menutup wajah
sendunya. Tubuhnya lelah, pikirannya pun lelah. Ini memang teramat menyedihkan.
Elma sungguh tidak mengerti keadaan seperti ini. Keadaan yang sangat
menyulitkan, keadaan yang membuatnya justru kehilangan tentang apa itu arti
persahabatan.
Ibunya tersenyum-haru mendengar
pertanyaan-pertanyaan Elma. Ia tentu dapat memahami semua perasaan itu, melihat
dari raut wajah Elma yang bersedih cukup membuat Ibunya mengetahui banyak
tentang keadaan apa yang dialami Elma.
"Elma, Ibu paham sekali perasaanmu.
Ayo bangunlah, Nak. Kamu duduk di bangku itu untuk bercermin. Akan Ibu coba
tunjukkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanmu tadi." Tangan kirinya
diletakkan di pundak Elma dengan lembut. Tangan kanannya pun memegang tangan
Elma dengan lembut. Berusaha merengkuh tubuh lemah Elma, lantas hendak
menuntunnya untuk duduk di sebuah bangku yang di depannya terdapat meja lengkap
dengan cermin besar.
Elma mulai beranjak. Mencoba melawan
kesedihan yang kini telah menyerang tubuhnya hingga lemas. Sudah cukup lama
Elma menangis di tepi tempat tidur, bahkan hingga menyisakan kusut sprei di
tempatnya duduk tadi.
Dibantu oleh Ibunya, Elma mulai melangkah.
Ibunya senantiasa merengkuh Elma, mencengkram erat tapi lembut untuk menuntun
langkah Elma. Duduklah kemudian Elma, bersandar lemas di sandaran bangku yang
empuk tersebut sambil menundukkan kepala. Elma masih sangat bersedih, air mata
belum berhenti membasahi pipinya. Napasnya juga belum teratur, masih tersendat-sendat
berat.
"Elma, tataplah dirimu di cermin
itu." Kedua tangannya mengusap lembut bahu Elma.
Elma mengangkat kepalanya. Melirik
sebentar Ibunya yang berada di belakang sebelum kemudian menatap wajahnya
sendiri. Elma melihat Ibunya hanya tersenyum-haru menatap dirinya melalui
bayangan di cermin tersebut. Sepertinya senyuman itu akan segera terbagi,
Ibunya seperti sudah terkesiap untuk menjelaskan sesuatu yang bisa membuat Elma
tidak menangis lagi. Elma pun mengusap air mata yang membasahi sendu wajahnya.
"Elma, sekali lagi Ibu paham sekali
perasaanmu. Ibu paham sekali kesedihan apa yang telah membuat kamu menangis,
memang berat. Tapi lihatlah dirimu, Nak. Apakah kamu pantas menangis? Ya,
jawabannya kamu pantas untuk menangis. Tapi bukan berarti dengan tangisanmu itu
kamu boleh menyerah. Kamu tidak boleh menyerah, Nak. Kamu dilahirkan memang
untuk diterpa berbagai macam kesedihan, tapi kamu tidak dilahirkan untuk
menyerah dengan kesedihan-kesedihan itu, Nak."
"Elma, ingat! Hidupmu bukan hanya
untuk mereka saja. Orang-orang di sekitarmu banyak, yang menyayangimu dan
menerimamu juga banyak. Lihatlah dirimu, Elma. Apakah kamu tega memperlihatkan
keputus-asaan itu kepada orang-orang yang menyayangimu? Masih banyak yang
menyayangimu Elma, justru senang dengan perubahan baik dirimu sejauh ini.
Apakah kamu tega membuat mereka kecewa?"
Ibunya menghela napas ringan. Tetap
mengukir senyuman diwajahnya. Sedang Elma hanya haru menatap dirinya sendiri di
cermin, mencoba merenungkan semua nasihat Ibunya.
"Hidup ini tentang menghargai, Elma.
Menghargai kesempatan dari Allah atas setiap hidup yang masih diberikanNya
untukmu sampai hari ini. Untukmu memperbaiki diri. Memantaskan diri menempati
surga yang telah dibuatNya untuk hamba-hamba terbaikNya. Kamu harus berlomba-lomba
untuk memperbaiki diri dan berbuat kebaikan. Sejauh yang telah kamu lakukan,
orang-orang yang menyayangimu sangat bangga, Elma. Kamu telah berusaha untuk
memperbaiki diri dan senantiasa berbuat kebaikan kepada semua orang. Kamu
hebat."
"Hidup ini bukan tentang menjadi
siapa kamu di mata orang-orang. Namun hidup ini adalah tentang seberapa ikhlas
dan tegar usaha kamu untuk menebarkan kebaikan kepada orang-orang. Elma, jika
kamu kembali berubah untuk mendapatkan lagi kasih sayang sahabat-sahabatmu. Apakah
kamu tidak berpikir bahwa dengan itu otomatis kamu mengecewakan sebagian
orang-orang yang telah menyayangi dirimu? Putus harapan melihat dirimu yang
memutuskan batal tumbuh menjadi sosok yang lebih baik. Apakah kamu tega,
Elma?"
Semua nasihat itu sangat memukul hati
Elma. Elma mengerti apa yang dimaksud Ibunya. Elma pun menatap Ibunya dari
cermin, senyum itu membuat Elma semakin terpukul, senyuman itu sangat
menguatkan dirinya. Elma pun berdiri dengan sigap, kemudian memeluk Ibunya
dengan hangat seraya melirih, “Elma mengerti. Maafkan Elma, Bu.”
Kontributor: Irfan Arrosid
Twitter/Instagram kontributor: @irfan_arrosid
0 comments:
Post a Comment