Cahaya Dari Bayang Cermin



     "Walau bagaimanapun juga kamu sudah cukup pantas untuk dikatakan teman terbaik. Kamu tidak pernah membalas keburukan mereka dengan keburukan lagi, kamu tidak pernah membenci mereka ketika mereka justru membencimu. Kamu sudah menjadi teman yang terbaik untuk mereka. Ibu sangat bangga padamu. Bangga mempunyai seorang anak yang berperangai baik."

     "TAPI, BU, kenapa Elma tidak dihargai? Kenapa mereka justru mencemooh Elma? KENAPA?" Elma semakin terisak. Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Air mata semakin deras membasahi pipi, tidak bisa dibendung lagi. Suara tangisannya pun semakin histeris, tidak bisa ditutup-tutupi lagi.


     Elma mencoba menenangkan diri kembali, hendak melanjutkan pertanyaan yang sulit Elma mengerti. Napasnya tersendat-sendat, tidak beraturan. Elma membuka kedua telapak tangan yang menutup wajahnya, terkesiap untuk melanjutkan pembicaraan.

     "Kenapa ketika aku ingin memperbaiki diri dengan menutup diriku menggunakan hijab, mereka justru mencemoohku? Kenapa justru ketika aku mulai menasihati, mereka justru mengabaikanku? Kenapa? Kenapa semua usaha perbaikan diriku ini justru membuat aku kehilangan arti dari sebuah persahabatan yang selama ini pernah aku ketahui dan mewarnai hidupku? KENAPA, BU? Aku ingin kembali, tidak ingin merusak persahabatan ini."

     Tangisannya sekarang tidak sehebat seperti tangisannya semula. Kali ini Elma lemah, lemas tidak berdaya. Tangisannya sejak tadi membuat tubuh Elma tidak bertenaga, cukup membuatnya lelah. Bahkan Elma pun tidak kuasa mengangkat kedua tangannya untuk kembali menutup wajah sendunya. Tubuhnya lelah, pikirannya pun lelah. Ini memang teramat menyedihkan. Elma sungguh tidak mengerti keadaan seperti ini. Keadaan yang sangat menyulitkan, keadaan yang membuatnya justru kehilangan tentang apa itu arti persahabatan.

     Ibunya tersenyum-haru mendengar pertanyaan-pertanyaan Elma. Ia tentu dapat memahami semua perasaan itu, melihat dari raut wajah Elma yang bersedih cukup membuat Ibunya mengetahui banyak tentang keadaan apa yang dialami Elma.

     "Elma, Ibu paham sekali perasaanmu. Ayo bangunlah, Nak. Kamu duduk di bangku itu untuk bercermin. Akan Ibu coba tunjukkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanmu tadi." Tangan kirinya diletakkan di pundak Elma dengan lembut. Tangan kanannya pun memegang tangan Elma dengan lembut. Berusaha merengkuh tubuh lemah Elma, lantas hendak menuntunnya untuk duduk di sebuah bangku yang di depannya terdapat meja lengkap dengan cermin besar.

     Elma mulai beranjak. Mencoba melawan kesedihan yang kini telah menyerang tubuhnya hingga lemas. Sudah cukup lama Elma menangis di tepi tempat tidur, bahkan hingga menyisakan kusut sprei di tempatnya duduk tadi.

     Dibantu oleh Ibunya, Elma mulai melangkah. Ibunya senantiasa merengkuh Elma, mencengkram erat tapi lembut untuk menuntun langkah Elma. Duduklah kemudian Elma, bersandar lemas di sandaran bangku yang empuk tersebut sambil menundukkan kepala. Elma masih sangat bersedih, air mata belum berhenti membasahi pipinya. Napasnya juga belum teratur, masih tersendat-sendat berat.

     "Elma, tataplah dirimu di cermin itu." Kedua tangannya mengusap lembut bahu Elma.

     Elma mengangkat kepalanya. Melirik sebentar Ibunya yang berada di belakang sebelum kemudian menatap wajahnya sendiri. Elma melihat Ibunya hanya tersenyum-haru menatap dirinya melalui bayangan di cermin tersebut. Sepertinya senyuman itu akan segera terbagi, Ibunya seperti sudah terkesiap untuk menjelaskan sesuatu yang bisa membuat Elma tidak menangis lagi. Elma pun mengusap air mata yang membasahi sendu wajahnya.

     "Elma, sekali lagi Ibu paham sekali perasaanmu. Ibu paham sekali kesedihan apa yang telah membuat kamu menangis, memang berat. Tapi lihatlah dirimu, Nak. Apakah kamu pantas menangis? Ya, jawabannya kamu pantas untuk menangis. Tapi bukan berarti dengan tangisanmu itu kamu boleh menyerah. Kamu tidak boleh menyerah, Nak. Kamu dilahirkan memang untuk diterpa berbagai macam kesedihan, tapi kamu tidak dilahirkan untuk menyerah dengan kesedihan-kesedihan itu, Nak."

     "Elma, ingat! Hidupmu bukan hanya untuk mereka saja. Orang-orang di sekitarmu banyak, yang menyayangimu dan menerimamu juga banyak. Lihatlah dirimu, Elma. Apakah kamu tega memperlihatkan keputus-asaan itu kepada orang-orang yang menyayangimu? Masih banyak yang menyayangimu Elma, justru senang dengan perubahan baik dirimu sejauh ini. Apakah kamu tega membuat mereka kecewa?"

     Ibunya menghela napas ringan. Tetap mengukir senyuman diwajahnya. Sedang Elma hanya haru menatap dirinya sendiri di cermin, mencoba merenungkan semua nasihat Ibunya.

     "Hidup ini tentang menghargai, Elma. Menghargai kesempatan dari Allah atas setiap hidup yang masih diberikanNya untukmu sampai hari ini. Untukmu memperbaiki diri. Memantaskan diri menempati surga yang telah dibuatNya untuk hamba-hamba terbaikNya. Kamu harus berlomba-lomba untuk memperbaiki diri dan berbuat kebaikan. Sejauh yang telah kamu lakukan, orang-orang yang menyayangimu sangat bangga, Elma. Kamu telah berusaha untuk memperbaiki diri dan senantiasa berbuat kebaikan kepada semua orang. Kamu hebat."

     "Hidup ini bukan tentang menjadi siapa kamu di mata orang-orang. Namun hidup ini adalah tentang seberapa ikhlas dan tegar usaha kamu untuk menebarkan kebaikan kepada orang-orang. Elma, jika kamu kembali berubah untuk mendapatkan lagi kasih sayang sahabat-sahabatmu. Apakah kamu tidak berpikir bahwa dengan itu otomatis kamu mengecewakan sebagian orang-orang yang telah menyayangi dirimu? Putus harapan melihat dirimu yang memutuskan batal tumbuh menjadi sosok yang lebih baik. Apakah kamu tega, Elma?"


     Semua nasihat itu sangat memukul hati Elma. Elma mengerti apa yang dimaksud Ibunya. Elma pun menatap Ibunya dari cermin, senyum itu membuat Elma semakin terpukul, senyuman itu sangat menguatkan dirinya. Elma pun berdiri dengan sigap, kemudian memeluk Ibunya dengan hangat seraya melirih, “Elma mengerti. Maafkan Elma, Bu.”

Kontributor: Irfan Arrosid
Twitter/Instagram kontributor: @irfan_arrosid

0 comments:

Post a Comment